Massa aksi saat melakukan orasi di depan pasar Barito kota Ternate pada Rabu (1/5/2024). Foto: Komite Mei Berlawan. |
LPM Aspirasi-- Selain memperingati May Day atau hari Buruh Internasional pada Rabu (1/5/2024) di Kota Ternate, massa aksi Komite Mei Berlawan juga turut memperingati Hari Aneksasi atau pengambilan paksa Wilayah Papua.
Massa yang membentangkan spanduk bertuliskan "Perkuat Konsolidasi Gerakan Rakyat, Jegal Kapitalis-Neolib dan Bangun Kekuatan Politik Alternatif” itu menilai, 1 Mei merupakan titik awal berbagai konflik di tanah Papua.
Deki Bunai, anggota Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) mengatakan 1 Mei selain memperingati hari buruh sedunia, juga dikenal hari bersejarah bagi masyarakat Papua.
Menurutnya klaim yang dibuat Indonesia mengenai status tanah Papua tidak sah sebagai bagian integral dari NKRI, karena tidak memiliki bukti- bukti sejarah yang otentik, murni, dan sejati, dan bahwa bangsa Papua Barat telah sungguh-sungguh memiliki Kedaulatan sebagai suatu bangsa yang Merdeka sederajat dengan bangsa-bangsa lain di muka bumi sejak 1 Desember 1961.
Rakyat Papua Barat, Kata Deki juga secara tegas menolak hasil Pepera sejak 1969, karena dilakukan atas dasar New York Agreement yang cacat moral dan cacat hukum.
“Dilaksanakan dalam suasana penindasan di luar batas-batas perikemanusiaan, peniadaan hak dan kebebasan berpendapat Bangsa Papua, dan dilakukan dengan cara-cara yang represif dan tidak demokratis,” ungkapnya.
Selain itu, Deki meminta Papua Barat sebagai Zona Darurat Militer harus segera dihentikan. Pemerintah Indonesia harus segera menarik militer organik dan non organik dari tanah Papua Barat.
Mahasiswa Papua saat memegang salah satu tuntutan aksi. Foto: Komite Mei Berlawan. |
“TPNPB dan TNI-Polri segera melakukan gencatan senjata demi mewujudkan perundingan politik yang dimediasi oleh pihak ketiga yang netral,” tandasnya.
Deki juga mendesak Indonesia segera buka akses terhadap jurnalis internasional masuk di Papua Barat, serta pemerintah Indonesia segera menempati janjinya kepada ketua Dewan HAM PBB di Jakarta pada 2018 untuk memberikan akses kunjungan Dewan HAM PBB di Papua Barat.
Bangsa Papua, kata Deki, turut mendukung penuh perjuangan kaum buruh di seluruh dunia demi memperoleh penghormatan, harkat, dan martabat dan pengakuan peran kaum buruh dalam pembangunan ekonomi dan sosial global.
Ridwan Lipantara, juru bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua kota Ternate mengatakan aneksasi mempunyai rumusan historis yang tak terpisah dari beberapa kejadian sejarah di Papua. Aneksasi yang ditandai dengan penyerahan administrasi Papua melalui tangan UNTEA atau PBB Ke Indonesia.
Dasar dari aneksasi ini perjanjian new agreement tanggal 15 agustus 1962 dan juga perjanjian Roma Agreement pada tanggal 30 september 1962.
"Jadi peristiwa-peristiwa ini kemudian melahirkan 1 Mei sebagai hari aneksasi Indonesia terhadap bangsa Papua,” terangnya.
Maksud dari aneksasi ini, kata dia merupakan pencaplokan secara paksa suatu bangsa atau negara terhadap bangsa lain atau wilayah teritorial yang lain. Atas dasar itulah konflik di Papua sepanjang 62 tahun sejak Trikora hingga sekarang itu tidak pernah terselesaikan.
Ridwan mengatakan negara selalu menggunakan pendekatan militer untuk menyelesaikan kasus konflik di Papua. Tapi, kita bisa melihat bahwa semenjak 1961 hingga 2024, pendekatan militer tidak pernah mampu menyelesaikan konflik di Papua.
Sementara itu, solusi yang diberikan Negara, menurutnya merupakan solusi palsu misal Otsus dan lainnya. Otsus hanya tuntutan ekonomis yang tidak punya kaitannya dengan tuntutan politik rakyat Papua untuk penentuan nasib sendiri, sehingga masalah di Papua itu dapat terselesaikan apabila, negara dengan sadar dan demokratis memberikan hak dan penentuan nasib sendiri sebagai solusi yang paling demokratik bagi rakyat Papua.
Ada beberapa kabupaten kota di Papua, yaitu Intan Jaya, Maybrat, Yahukimo, Nduga, Pegunungan Bintang dan beberapa wilayah Papua lainnya, itu ditetapkan sebagai daerah operasi militer. Analisis lebih jauh kenapa beberapa wilayah ini ditetapkan sebagai daerah operasi militer.
“Negara selalu menggunakan klaim bahwa itu TPN OPM, padahal itu adalah wilayah yang kandungan sumber daya yang sangat melimpah, sehingga negara mengklaim sebagai wilayah konflik, biar infestor bisa masuk untuk melakukan oksplorasi dan eksploitasi secara masif di sana,” tegasnya.
Negara, Bagi Ridwan menggunakan militer untuk mengamankan status quo dari kekuasaan, dan juga mengamankan akumulasi profit dari para pemodal yang masuk menaruh saham di Papua.
Ia memberikan contoh yang terjadi beberapa minggu kemarin. Tiga pemuda di Kabupaten Wilaga yang kemudian disiksa. Salah satunya Deltianus Kogoya yang dituduh terlibat sebagai anggota TPMPB OPM, tapi ternyata dia adalah warga sipil dari Ilaga yang disiksa hingga tewas di rumah sakit Ilaga.
“Itu adalah satu kasus dari seribu kasus yang ditutupu oleh negara yang terjadi dipapua," tutup dia.
Reporter: Syahrullah Muin
Editor: Susi H Bangsa