Massa aksi saat protes dan lakukan bakar ban di depan gedung kantor Walikota Ternate pada Senin (2/9/2024). Foto: Sukriyanto Safar/LPM Aspirasi. |
LPM Aspirasi -- “Tangkap dan Adili Jokowi!” seru para demonstran sesaat setelah tiba di depan Kantor Walikota, Jalan Pahlawan Revolusi, Muhajirin, Kota Ternate pada Senin (2/9/2024). Ratusan massa ini gabungan dari Universitas Nahdatul Ulama (Unatara), Institut Agama Islam Negeri (Iain), Institut Sains dan Keguruan (Isdik), serta Universitas Khairun (Unkhair). Mereka mengatasnamakan Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Kota Ternate.
Aksi ini merespon situasi darurat demokrasi di Indonesia. Pasalnya Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan pemerintah melakukan manuver politik dengan merevisi UU Pilkada pada 21 Agustus 2024.
Kebijakan itu dinilai suatu pembangkangan terhadap konstitusi dengan mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024, yang diharapkan mampu menjaga marwah demokrasi dalam proses pemilihan kepala daerah.
Ajim Umar, Koordinator aksi mengatakan, meskipun pemerintah batal merevisi UU Pilkada, namun aksi ini sebagai bentuk peringatan kepada pemerintah kalau rakyat mulai muak dengan kebijakan yang mengangkangi konstitusi.
Apalagi Baleg DPR RI dan pemerintah, kata dia, hanya membutuhkan waktu 2 jam, untuk mengobrak-abrik sendi-sendi demokrasi yang susah payah dibangun melalui reformasi.
“Pembangkangan ini dilakukan semata-mata untuk melumpuhkan demokrasi dan melanggengkan kekuasaan Jokowi dan kroni-kroninya yang didukung oleh kepentingan oligarki,” ujarnya.
Bagi Ajim, apa yang dilakukan pemerintah hari ini bukan kali pertama, melainkan sudah berulang.
“Kami merasa bahwa darurat demokrasi ini, tidak hanya sekedar baru kali ini. Tapi, sepuluh tahun kepemimpinan Jokowi justru menjadi cerminan buruk dari aspek demokrasi, aspek HAM dan banyak hal,” ungkapnya.
Bahkan hukum di Indonesia saat ini, bagi Ajim terasa seperti tidak ada harganya. Para pejabat dan rezim hanya melacurkan hukum melalui autocratic legalism, yaitu fenomena di mana pemimpin terpilih dan berkuasa melakukan perubahan-perubahan konstitusional dan hukum untuk kepentingan agenda yang tidak demokratis.
“Keadaan ini menjadi keresahan bagi semua pihak,” tandasnya.
Ajim berpendapat, harusnya kalau mau merubah konstitusi, pemerintah harus merubah UU Politik, UU Partai Politik, Presidential dan Electoral Threshold, yang bikin rakyat dan gerakan tidak bisa membangun partai politik sendiri atau bahkan dipersulit untuk masuk ke Parlemen.
“Pemerintah juga harusnya berani membuat aturan untuk kembalikan militer ke barak dan “dwi fungsi” Polisi, biar rakyat lebih leluasa berpendapat dan berpolitik,” tegas mahasiswa salah satu kampus di Ternate itu.
Tanggapan serupa dilontarkan Padwi, Ketua Dewan Mahasiswa (DEMA) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ternate. Menurut dia Jokowi barangkali orang paling dibenci di negri ini. Kehadirannya paling disesali, betapa selama satu dekade menjabat Ia dan keluarganya mengkoloni Indonesia dan 270 juta warganya.
Padwi bilang “Raja Jawa” itu memutar balik laju demokrasi dan mengerus berbagai capaian Reformasi 1998. Ia menjadikan lembaga negara seperti DPR, MK, KPK, Kepolisian dan TNI sebagai kaki tangannya untuk memukul seluru aspirasi warga.
Kata dia, sudah banyak persoalan yang dihasilkan. Mulai dari ribuan masyarakat adat tergusur dari tanah ulayatnya, dan massa aksi dan mahasiswa direnggut nyawanya di jalanan oleh polisi demi mengamankan kekuasaanya., serta berbagai masalah lainnya yang tidak bisa disebutkan satu-satu.
"10 tahun masa kepemimpinan Jokowi, kita tidak temukan soal prestasi yang luar biasa, bahkan, kebijakan-kebijakan nya justru melahirkan kesengsaraan bagi masyarakat, dan hanya menguntungkan keluargannya,” tandasnya.
Reporter: M. Reza Abdul Alim
Editor: Susi H Bangsa