Ilustrasi oleh Musdalifah M. Rahmat/LPM Aspirasi. |
*Oleh: Risdian Kayang
Nama Mulyono saat ini sedang banyak kita lihat berseliweran di berbagai media sosial. Sebelum baca tulisan ini, mungkin kamu perlu cari tau terlebih dulu siapa Mulyono ini.
Satu dekade lalu, ia pernah dielu-elukan hampir seantero negeri. Gayanya yang wong cilik, dan doyan masuk gorong-gorong mampu menyihir publik Indonesia, bahkan menyilaukan kelas terdidik.
Pengusaha mebel itu akhirnya melanggeng mulus ke puncak kekuasaan, mengalahkan Prabowo yang berlatar belakang militer, Orde Baru (Orba), mantan menantu Soeharto dan tentu saja oligarki. Suatu alasan kenapa Mulyono terpilih. Dia jadi antitesa Prabowo. Dia diharapkan mampu menahkodai republik ini menjauh dari bayang-bayang orde baru yang korup dan otoriter.
Khidmat menyaksikan Mulyono naik ke puncak kekuasaan. Semua mata tertuju padanya. Dia jadi sosok yang dianggap bersih, hanya seorang pengusaha kayu dan mebel. Seorang lelaki sederhana dari desa tanpa hasrat politik. Majalah Times bahkan menjulukinya A New Hope; Harapan Baru.
Di tengah berbagai harapan agar Indonesia jadi lebih baik, Mulyono berjanji akan memprioritaskan agenda reformasi, konsolidasi demokrasi dan penegakan hukum yang bebas korupsi, independen dan tanpa tebang pilih. Janji Mulyono benar-benar merepresentasikan harapan dan cita-cita khalayak ramai.
Kisah Mulyono ini mengingatkan saya pada cerita dalam buku Animal Farm, sebuah novel fiksi klasik bergenre distopia, karya Goerge Orwell. Sebuah alegori politik yang terinspirasi dari revolusi bolshevik di Rusia. Buku yang terbit pertama kali pada 17 Agustus 1945. Mengisahkan sekelompok hewan yang memberontak terhadap tuanya, Pak Jones.
Pak Jones, pemilik peternakan Manor telah memperbudak binatang. Para hewan disuruh bekerja siang hari malam, diperas keringatnya, dan dipekerjakan sepanjang hari. Giliran hasilnya dinikmati Pak Jones. Para hewan hanya memperoleh pakan busuk dari sisa jualan. Setelah para hewan tua dan tak mampu bekerja, mereka akan dijual ke tukang daging untuk dimakan manusia dan hanya sekadar jadi pakan anjing.
Ketidakadilan dan perbudakan binatang memicu pemberontakan hewan. Snowbal dan Napoleon, dua ekor babi cerdas memimpin revolusi demi masa depan binatang yang adil dan setara. Mereka menginisiasi perubahan dengan sentimen kepada dominasi manusia, lalu memberontak untuk mendirikan negara mereka sendiri.
Setelah revolusi sukses, Napoleon menjadi pemimpin. Lalu para hewan menyusun “tujuh hukum dasar republik”. Semacam konstitusi yang mempedomani hidup para hewan.
Mulyono dan Napoleon merupakan politisi yang merangkak dari bawah. Mereka bukan anak pendiri partai politik. Janji politik juga mencerminkan kelas sosial dimana mereka berasal.
Mulyono sendiri, setelah sepuluh tahun berkuasa barangkali jadi orang paling dibenci di negeri ini. Kehadirannya paling disesali. Selama satu dekade itu, ia dan keluarganya seolah melakukan koloni terhadap bangsa Indonesia dan 270 juta warganya. Pasalnya setelah dilantik, Mulyono secara perlahan menunjukan wajah aslinya. Ia mulai bergeming dari janji-janjinya.
Setali tiga uang, seperti Mulyono, babi Napoleon dalam Animal Farm juga demikian. Semangat awal tujuh hukum dasar republik mulai memudar. Perlahan-lahan cita-cita luhur mereka terkikis oleh ambisi para pemimpinnya.
Konstitusi yang dulu suci mulai diubah. Yang dulunya tegas dan tak tergoyahkan kini menjadi fleksibel, bahkan berubah makna sesuai keinginan sang pemimpin, Napoleon.
Sila pertama dalam tujuh hukum dasar itu: kaki dua (manusia) adalah musuh. Namun, Napoleon diam-diam mulai berteman dengan manusia. Dia berbisnis dengan seorang manusia bernama Mr. Whymper. Jadi, meskipun manusia dianggap musuh, mereka tetap menjalin hubungan untuk urusan bisnis.
Hukum lain yang dilanggar mengenai tidur di kasur. Dalam sila keempat, hewan dilarang tidur di kasur. Namun, Napoleon mengubah aturan tersebut dengan menambahkan frasa, “asal jangan pakai seprei”.
Napoleon juga merubah aturan terkait pasal yang menyatakan semua hewan itu sama. Dia membuat aturan baru yang menyiratkan dia dan teman-teman babi, serta keluarganya, lebih penting daripada hewan lainnya.
Sementara Mulyono perlahan memutar balik laju demokrasi dan menggerus berbagai capai reformasi 1998 untuk kembali ke titik nol. Ia mengkonsolidasikan partai-partai di parlemen hingga nyaris tak ada oposisi, membuatnya leluasa meloloskan banyak UU yang melegitimasi kepentingan nya.
Mengintervensi lembaga anti rasuah dengan merevisi UU KPK, menjadikan lembaga itu tidak lagi independen. Mendepak orang-orang yang kritis dan berintegritas. Nyaris lembaga itu bak palu gadah untuk menekan lawan-lawan politiknya, persis seperti Napoleon menyingkirkan Snowbal sang babi kritis.
Menitipkan iparnya sebagai ketua Mahkamah Konstitusi untuk mengawal kepentingan anaknya. Kepolisian dan TNI bertekuk lutut di bawah petuahnya.
Kebijakannya membuat masyarakat adat tergusur dari tanah ulayatnya. Sementara massa demonstran yang menyampaikan pendapat direnggut nyawanya di jalanan. Jutaan hektare hutan dibabat atas nama PSN (Proyek Sengsara Nasional). Anak-anak, menantu, ipar, besan hingga asisten pribadinya semua telah menjadi pejabat negara.
Mulyono tak berhenti di situ, ia kembali dengan ambisi baru. Mendorong anak bungsunya Kaesang untuk maju sebagai kepala daerah. Meski usia anaknya belum cukup untuk mencalonkan diri. Dengan kekuatan politiknya mengotak atik aturan usia bakal calon kepala daerah. Pemerintah menggunakan institusi legislatif untuk menganulir putusan MK yang secara konstitusional bersifat final dan mengikat.
***
Dalam perjalanannya, setelah hari-hari yang panjang tidak ada lagi yang aneh ketika babi-babi dan manusia terlihat akrab. Napoleon terlihat sering berjalan-jalan di peternakan minor menemani tamu manusianya berwisata.
Pada malamnya, terdengar suara-suara campur baur dalam suasana penuh kesetaraan. Di seputar meja panjang, telah duduk para petani dan selusin babi-babi terhormat. Napoleon menempati kursi terhormatnya di ujung meja itu, sebuah guci besar diedarkan, dan cangkir-cangkir berisi penuh bir. Sesekali mereka berhenti untuk saling bersulang, sesekali meledak tawa di antara para babi dan manusia merayakan kebersamaan setelah periode kesalahpahaman yang panjang.
Di luar ruangan jamuan itu, kawanan hewan lain hanya mengintip di balik jendela ruangan. Wajah-wajah penuh tanda tanya menatap masuk kedalam ruangan jamuan di balik jendela itu. Dinding ruangan jamuan itu sudah tertulis sebuah perintah tunggal. Bunyinya: Semua Binatang Setara Tetapi Beberapa Binatang Lebih Setara Daripada Yang Lainnya.
***
Penulis merupakan Mentri Sosial Politik (Mensospol) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Khairun (Unkhair) Ternate.