Massa aksi saat melakukan orasi di depan pasar Barito, Ternate Utara. Foto: Massa aksi. |
LPM Aspirasi -- Komite Pro Demokrasi Kota Ternate menggelar unjuk rasa pada Minggu (20/10/2024). Massa gabungan dari organisasi mahasiswa, dan rakyat serta individu itu longmarch dari Benteng Oranje, Jalan Hasan Boesoeri, lalu ke Pasar Barito, Gamalama, dan berakhir di depan Kantor Walikota Jalan Pahlawan Revolusi, Muhajirin, Kota Ternate.
Aksi ini dilakukan jelang berakhirnya kepemimpinan sepuluh tahun Rezim Joko Widodo, serta dilantiknya Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2024-2028.
Pantauan LPM Aspirasi, massa bentangkan spanduk bertuliskan “Rezim Prabowo-Gibran Adalah Malapetaka Demokrasi Bagi Rakyat Indonesia. Saatnya Rakyat Bersatu Bangun Partainya Sendiri”.
Massa aksi menilai misi melanjutkan program Jokowi yang di usung Prabowo-Gibran hanya akan menambah derita rakyat. Pasalnya di masa kepemimpinan Jokowi muncul banyak problem. Mulai dari perampasan tanah, pembajakan ruang demokrasi dan konstitusi, politik upah murah serta banyak regulasi-regulasi menyesatkan, seperti UU Cipta Kerja, dan UU Minerba.
“Misi melanjutkan program rezim sebelumnya mengisyaratkan kalau hanya ada perpindahan kekuasaan dari rezim satu ke rezim lainnya, dari satu oligarki ke oligarki lainnya, tanpa ada perubahan signifikan dalam perbaikan nasib masyarakat Indonesia,” ungkap Agam Palangi, Koordinator Aksi.
Apalagi, kata Agam, kapitalisme telah kokoh melekat di Indonesia, sehingga estafet Presiden dan jabatan-jabatan kelembagaan dalam kekuasaan negara tidak akan merubah apapun. Kebijakan akan tetap dibuat untuk mengamankan kekayaan oligarki atau pemilik modal dan tentu saja para pejabat sendiri.
“Tanpa pergantian sistem, perubahan yang diimpikan hanya omong kosong, karena output dari sistem Kapitalisme hanya melahirkan pemimpin yang menghamba pada akumulasi modal dan tidak pro pada masyarakat kelas bawah,” tegasnya.
Bagi Agam, dilantiknya Prabowo-Gibran juga dinilai jadi ancaman untuk demokrasi di Indonesia. Apalagi Prabowo sendiri memiliki catatan kelam soal dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Hal itu membuat rakyat skeptis terkait penyelesaian kasus HAM berat masa lalu.
Partai Politik Alternatif
“Politik di Indonesia masih didominasi kepentingan oligarkis. Fenomena ini semakin mengemuka terutama di tengah ekspansi neoliberalisme yang begitu massif di negeri ini. Akibatnya, kepentingan rakyat semakin termarjinalkan,” ungkap Nando, seorang massa aksi.
Nando bilang, berbagai permasalahan yang menyangkut hajat hidup rakyat mulai dari upah murah, perampasan tanah, kerusakan ekologis, berkurangnya ruang publik di perkotaan, diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas dan masyarakat adat, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), hingga represivitas aparat negara terus merebak hingga sekarang.
“Di ranah politik sendiri, kancah politik elektoral masih didominasi oleh partai-partai perwakilan borjuasi yang sebagian besar aktornya adalah elit-elit politik lama,” tuturnya.
Kata dia, partai-partai borjuis ini, alih-alih memperjuangkan kepentingan rakyat, justru semakin menancapkan pengaruh dan memajukan kepentingan mereka dalam saluran-saluran politik yang ada.
“Terutama dengan membuat sistem kepartaian Indonesia semakin terkartelisasi, memperkecil ruang bagi gerakan-gerakan sosial untuk memperjuangkan kepentingannya via pemilihan umum (pemilu),” ungkap mahasiswa salah satu kampus di Ternate itu.
Nando menjelaskan kalau berbagai strategi sudah dilakukan oleh elemen-elemen dan eksponen-eksponen gerakan sosial, mulai dari perjuangan melalui organisasi-organisasi gerakan sosial masyarakat sipil.
Seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), serikat-serikat rakyat buruh, tani, kaum miskin kota, perempuan, mahasiswa, dan nelayan, strategi diaspora aktivis ke lembaga-lembaga negara, dukungan kritis terhadap calon pejabat publik yang dianggap dapat memajukan agenda gerakan rakyat, hingga ada bergabung dengan partai-partai borjuis.
“Tetapi, setelah dua puluh tahun lebih, belum ada perubahan yang berarti dalam politik Indonesia, dalam hal representasi rakyat pekerja dan pemajuan agenda-agenda politik gerakan rakyat,” tegasnya.
Kini, menutut Nando, berkaca dengan kenyataan-kenyataan dimana sekadar menitipkan nasib kepada ‘orang baik’ semata tidak membuat kita ke luar dari kepungan ketat kekuasaan jaringan oligarki, maka setelah peralihan kekuasaan ini kita melanjutkan perlawanan terhadap oligarki melalui perlawanan politik di tingkat formal.
“Tentu saja dengan mendorong pewadahan dari gerakan rakyat yang sudah berani terbuka melawan operasi kekuasaan oligarki produk Orba dengan mengubahnya menjadi kekuatan politik alternatif,” tandasnya.
Tidak ada pilihan lain, selain menghadirkan partai politik buat bertarung dalam ruang demokrasi elektoral pasca Soeharto. Ruang tersebut selama 20 tahun lebih dikuasai oligarki dan jadi pembenaran bagi kebijakan-kebijakan berorientasi neoliberal.
“Kemungkinan berpolitik melalui ‘orang baik’ dan partai-partai oligarki yang sudah eksis saat ini, tidak akan mengubah konstelasi dominasi oligarki serta kebijakan neoliberal di ruang yang ada,” ungkapnya.
Sebab itu, Nando beserta massa aksi lainnya menyerukan pembangunan partai alternatif sebagai solusi perjuangan rakyat.
Reporter: Syahrullah Muin
Editor: Susi H. Bangsa