LPM Aspirasi -- Jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak, sejumlah mahasiswa menggelar unjuk rasa pada Jum'at (22/11/2024). Massa dari organisasi Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (Pembebasan) Kolektif Kota Ternate itu mengambil rute Taman Nukila, dan depan Pasar Barito, Sultan M. Djabir Sjah, Gamalama, Ternate Tengah.
Aksi dimulai sekira pukul 14.30 WIT. Massa bentangkan spanduk bertuliskan “Rakyat Bersatu Jegal Neoliberalisme dan Bangun Pemilu Rakyat Miskin”. Mereka menilai Pilkada serentak 2024 merupakan ajang oligarki beserta kroni-kroninya memperebutkan kekuasaan, bukan jadi pesta demokrasi rakyat sebagaimana digaungkan.
Abdul, Koordinator aksi mengatakan, tiap kali datang momentum pemilihan umum, baik itu presiden, legislatif atau, Pilkada, mereka selalu menggaungkan kalau ini pesta demokrasi untuk rakyat, rakyat harus memilih karena ini waktunya untuk perbaikan arah bangsa atau daerah lima tahun kedepan.
“Ada juga yang bilang ini waktunya memilih mereka yang bisa dipercaya, memilih yang baik dari yang terburuk,” ungkap Abdul
Nyatanya, kata dia, rakyat hanya dijadikan lumbung suara. Demokrasi sebatas lima menit di bilik suara. Begitulah yang terjadi terus-menerus. pemilu dilangsungkan tiap lima tahun dan sudah banyak pemimpin berganti rupa, tapi kian hari demokrasi memburuk. Berbagai berita represif, kekerasan hingga penangkapan mahasiswa, petani, buruh, hingga akademisi yang menyuarakan kebenaran bermunculan.
“Perampasan ruang hidup masif, pendidikan mahal, kesehatan mahal dan banyak lagi problem yang terjadi. Janji-janji kampanye hanya omong kosong belaka,” tegasnya.
Memilih yang terbaik dari yang terburuk, bagi Abdul, jika dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung, tidak lain hanya pembelaan terhadap status quo kapitalis. Faktanya, tidak ada perbedaan mendasar antara seluruh kandidat. Mereka mewakili kepentingan yang sama, yaitu kepentingan kaum borjuis. Tidak ada yang lebih demokratis dari yang lain, karena demokrasi borjuis yang kita jalani tetap merupakan demokrasi bagi kaum minoritas yang mengeksploitasi.
“Pemilu borjuis hanya menguntungkan kaum kaya, rakyat lah yang akan terus menderita,” tegasnya.
Abdul bilang, rakyat harus belajar dari pengalaman itu. Sudah saatnya berhenti percaya pada pemilu borjuis. Tidak boleh lagi menaruh harapan pada pasangan calon yang diusung oleh partai-partai yang ada saat ini.
Pemilu Rakyat Miskin
Mariam, seorang massa aksi mengatakan sebentar lagi Pemilihan Kepala Daerah berlangsung ditengah kondisi perekonomian rakyat yang tengah dilanda kesulitan. Akan tetapi partai-partai borjuasi malah saling adu janji, adu meriah panggung musik, adu bagi-bagi kaos gratis.
Rakyat dibuat lupa akan persoalan yang mendasar, yang dihadapinya sehari-hari di pabrik, di kampus, di kota, di desa, di jalanan. Rakyat dipaksa bergembira bersama janji-janji para partai borjuasi.
“Pemilu telah berhasil menjadi senjata yang ampuh bagi para elit politik borjuasi untuk menaklukan rakyat miskin. Rakyat miskin dilihat tidak lebih dari sebuah selembar kertas yang akan mengisi kotak suara,” tandasnya.
Para elit politik, kata dia, hanya akan sibuk memastikan kampanye berjalan dan memastikan saingannya tidak melampaui dia. Inilah yang dinamakan pemilu borjuasi. Tidak ada ruang bagi kelompok miskin dalam pemilu semacam ini.
“Lalu ini dibilang pesta demokrasi, padahal dalam makna yang paling sempit sekalipun, pemilu di Indonesia tidak demokratis,” jelasnya.
Mariam menjelaskan kalau pemilu yang ada dan berlangsung di Indonesia secara sistematis melalui regulasi membatasi kelompok miskin berpartisipasi secara leluasa. Hanya kelompok pemodal, kaum borjuis, agen kapitalis yang mampu mendirikan partai politik untuk diikutsertakan pada pemilu.
“Ini jelas menunjukan pemilu tidak mampu menjadi representasi rakyat Indonesia, sebab di dalamnya hanya berisikan kaum borjuasi, kaum pemilik modal dan mereka yang jadi kaki tangan kapitalis,” ungkap Mariam.
Rakyat, bagi Mariam harus belajar dari pengalaman dan sejarah yang ada. Pemilu harusnya mengarusutamakan Rakyat sebagai pengambil peranan paling penting dalam menentukan representasi serta arah kebijakan ekonomi dan politiknya sendiri.
“Pemilu harus menjadikan rakyat memiliki kedaulatan dalam lini-lini produksi paling esensial dan sumber daya alam sehingga dapat memanfaatkannya secara bijak, sinergi dengan alam dan lingkungan,“ tutur Mariam.
Secara praksis, Mariam menilai pemilu itu harus bisa jadi bentuk lain dari parlemen jalanan sebagai representasi wajah oposisi kepada partai-partai borjuis yang eksis di Indonesia saat ini. Oposisi yang sebenar-benarnya terhadap kebijakan pro pasar dan anti rakyat. Oposisi atas penghisapan dan eksploitasi alam serta manusia yang tak berkesudahan.
“Jadi absennya kutub politik progresif dan kerakyatan dalam kontestasi politik nasional harus segera diakhiri dengan membangun blok politik yang berhadapan face to face melawan seluruh instrumen kebijakan politik dan ekonomi yang dimiliki oleh kelas borjuasi,“ tegas dia.
Sebab itu, Maria dan teman-temannya menyerukan kepada seluruh elemen yang termarjinalkan, baik petani, buruh, mahasiswa untuk memperkuat kekuatan dan mendorong pemilu rakyat dengan blok politik yakni parpol alternatif sebagai antitesis dari parpol borjuis yang ada.
Reporter: Sukriyanto Safar
Editor: Susi H Bangsa