LPM Aspirasi-- Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Ternate dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) Wilayah Maluku Utara mengelar dialog publik. Agenda ini dilaksanakan pada, Senin (02/12/2024) di Gedung NBCL, Kelurahan Sasa, Kota Ternate.
Mereka mengusung tajuk “Meningkatnya Eskalasi Konflik (HAM dan Demokrasi) di Papua dan Bagaimana Jalan Keluarnya”. Diskusi memperingati 63 tahun Hut Deklarasi Papua Barat.
Turut hadir sebagai pembicara, Nabo, perwakilan Aliansi Mahasiswa Papua, As, dari organisasi Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID) dan Nando, dari Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (Pembebasan).
Nabo, menjelaskan dalam sejarahnya Papua pernah mendeklarasikan kemerdekan pada 1 Desember 1961. Deklarasi itu tidak pernah diakui pemerintah Indonesia. Sembilan belas hari kemudian kemerdekaan itu direbut. Sebab tanpa dasar yang jelas Papua dianggap akan jadi negara boneka buatan Belanda.
Hal itu dibuktikan dengan pidato Soekarno di Alun-Alun Yogyakarta. Bubarkan negara boneka Papua barat bikinan belanda, kibarkan sang merah putih di seluruh dataran Irian Barat, dan mobilisasi umum merebut Irian Barat. Melalui operasi Tiga Komando Rakyat (Trikora) pada 19 Desember 1961 pemerintah Indonesia merebut kemerdekaan itu.
“Hal ini kemudian menjadi embrio kekerasan di tanah Papua hingga saat ini,” ungkap Nabo.
Dia bilang, mobilisasi militer secara besar-besar di tanah Papua sejak Trikora hingga hari ini semakin memperburuk situasi di Papua.
"Kita orang Papua telah melalui dialog-dialog namun dalam setiap dialog yang dilakukan, semua dibawa teror militer dan pembohongan-pembohongan serta berbagai kebijakan yang tidak demokratis, misalnya pepera 1969,” Ungkapnya.
Nando, perwakilan Pembebasan menjelaskan integrasi Papua kedalam Indonesia bagian dari program kapital. Ini bukan integrasi bangsa. Kehadiran militer di tanah Papua hanya untuk mengamankan modal.
"Penempatan militer di atas tanah Papua tujuan utamanya untuk kepentingan pemodal atau kapitalis," tandasnya.
Bahkan, kata dia, hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 juga berhubungan erat dengan kepentingan kapital. Indonesia tidak mau kehilangan sumber emas terbesar di dunia.
Apalagi, Nando bilang, Soeharto sudah memberi izin kepada Freeport Sulphur of Delaware untuk menambang di Papua 1967, dua tahun sebelum Pepera dilangsungkan.
Secara otomatis, dan mau tidak mau, Papua harus jadi bagian dari Indonesia karena Soeharto sudah kasih Izin Freeport. Jadi hadir Pepera sudah bisa ditebak,” ungkapnya.
Pepera dilangsungkan tahun 1969. Hanya 1025 orang yang ‘dipilih’ untuk mengikuti Pepera. Pemerintah Orde Baru berkilah, dan diamini oleh PBB yang sudah lelah dengan masalah ini, bahwa ‘musyawarah dan mufakat’ lebih diutamakan ketimbang sebuah referendum langsung.
“Kita tahu, mekanisme yang sama menghasilkan Soeharto yang memerintah selama 32 tahun. Pepera dilakukan lewat tipu-daya dan todongan senjata,” ungkap Nando.
Menurut Nando, karena proses yang penuh dengan kecurangan dan tipu-daya ini, tidak terlalu mengherankan bila persoalan Papua tidak akan pernah selesai. Ia berbiak. Generasi yang lebih baru dari anak-anak Papua tidak akan pernah lupa apa yang dialami oleh orang tua mereka di zaman operasi militer yang dilakukan oleh Orde Baru.
“Pembunuhan-pembunuhan dan kekerasan itu memang bisa ditutupi dari sebagian besar rakyat Indonesia, namun tidak bisa hilang dari ingatan orang Papua,” tegasnya.
Hingga hari ini, Kata dia, situasi Papua sangat kejam. Banyak kasus pembunuhan, banyak kasus pemerkosaan, dan banyak anak-anak jadi korban akibat konflik berkepanjangan yang tak kunjung di selesaikan oleh negara.
“Bukannya mencari solusi atas persoalan Papua, kini pemerintah hadir dengan persoalan baru, yakni transmigrasi,” jelasnya.
Menurut Nando, pembangunan jalan, jembatan, pelabuhan, dan bandara di Papua bukan untuk kepentingan rakyat. Pembangunan di tanah Papua selalu sinergi dengan kepentingan usaha atau kepentingan pemodal, bukan demi memajukan masyarakat Papua.
“Nyatanya semua ini hanyalah demi kelancaran investasi dan ekploitasi untuk menguras habis kekayaan alam Papua dan memenuhi kantong-kantong kapitalis," ketusnya.
Sementara, As, menjelaskan bahwa akhir-akhir ini pembangun pos-pos militer di Papua bukan menjadi solusi untuk penyelesaian konflik, namun menambah eskalasi konflik.
"Semenjak tahun 1961 hingga kini penyelesaian konflik dalam pendekatan militer justru gagal dan malah menambah eskalasi konflik, pelanggaran HAM seperti Biak Berdarah, Paniai Berdarah dan lainnya," Terangnya.
Kata dia, kekerasan militer atas orang papua merupakan tindakan melanggar hukum yang dipelihara oleh negara hingga hari ini. Jadi orang papua jangan takut bicara soal pelanggaran HAM.
As mengatakan kejahatan kemanusian dengan pelanggaran hak-hak politik, hak asasi manusia di Papua menjadi catatan kelam, dan telah menjadi ingatan kolektif (memoriam passionis) bagi rakyat Papua secara turun temurun.
“Ingatan kolektif inilah yang menjadi pemicu ketidakstabilan di Papua,” jelas dia.
Dia menjelaskan kalau negara melalui pemerintahannya, presiden berganti presiden secara terus menerus mengabaikan hak-hak orang asli Papua, sebaliknya melakukan pelanggaran HAM secara terus menerus. Negara harus mencari solusi lain soal Papua.
As bilang, negara harus berani mengambil Opsi lain yang telah menjadi aspirasi rakyat sejak awal aneksasi yaitu Penentuan Nasib sendiri melalui mekanisme Referendum atau kongkritnya dapat melalui pengakuan kedaulatan Papua melalu deklarasi 1 Desember 1961 yang dirusak Soekarno melalui Trikora.
Reporter: Sukriyanto Safar
Editor: Susi H Bangsa