Massa aksi saat berorasi di depan pasar Barito, Ternate Tengah. Foto: Susi H. Bangsa/ LPM Aspirasi. |
LPM Aspirasi -- Puluhan massa mahasiswa berkumpul di taman Nukila, Jalan Sultan M. Djabir Sjah, Kota Ternate, pada Rabu (11/12/2024) siang. Mereka menggelar aksi memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM) sekaligus penutupan peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKtP). Massa bentangkan spanduk bertuliskan “Lindungi Semua, Penuhi Hak Korban dan Akhiri Kekerasan Terhadap Perempuan".
“Kekerasan harus dihentikan! berikan hak perempuan!,” teriak seorang orator saat berorasi di taman Nukila. Kemudian di sahut massa aksi lain dengan teriakan “hentikan!”.
Pantauan LPM Aspirasi, aksi dimulai sekira pukul 14:00 WIT. Setelah melakukan orasi di depan Taman Nukila, massa berjalan menuju Pasar Barito, Jalan Sultan M Djabir Sjah, Gamalama, Ternate Tengah.
Abdul, Koordinator aksi mengatakan tiap tanggal 25 November, seluruh masyarakat di dunia memperingati Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Peringatan ini kemudian diperluas menjadi kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang berlangsung hingga 10 Desember, bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia Internasional.
Berdasarkan Informasi yang dinukil dari United Nation, kata Abdul, peringatan ini bermula pada 1981, saat para aktivis hak perempuan di Kongres Perempuan Amerika Latin dan Karibia pertama kali mencetuskan tanggal 25 November sebagai hari melawan kekerasan berbasis gender.
“Tanggal ini dipilih untuk mengenang perjuangan tiga saudara perempuan, Patria, Minerva, dan MarÃa Teresa Mirabal, yang dikenal sebagai Mirabal Bersaudara,” ungkapnya.
Mereka merupakan aktivis politik yang dengan gigih melawan kediktatoran Rafael Trujillo, penguasa Republik Dominika kala itu. Perjuangan mereka berakhir tragis ketika mereka dibunuh secara brutal oleh kaki tangan Trujillo pada 25 November 1960.
“Kisah Mirabal bersaudara menjadi simbol perjuangan melawan ketidakadilan dan penindasan berbasis gender,” jelasnya.
Abdul bilang, kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia, yang berlangsung dari 25 November hingga 10 Desember, bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya melawan kekerasan berbasis gender.
Abdul menjelaskan, ada berbagai data yang menunjukkan kekerasan berbasis gender masih marak terjadi, seperti 1 dari 3 perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual sepanjang hidupnya. Sementara itu di Indonesia, 2 dari 3 korban kekerasan dalam rumah tangga adalah perempuan.
“Kemudian 35 persen perempuan di dunia mengalami kekerasan fisik atau seksual oleh pasangan intim. Sedangkan 51 persen korban perdagangan manusia adalah perempuan, yang sering kali dijebak dalam eksploitasi seksual,” terangnya.
Massa aksi saat memegang umbul-umbul protes. Foto: Susi H. Bangsa/LPM Aspirasi. |
Dalam ranah global, sekitar 120 juta anak perempuan dipaksa melakukan hubungan seksual. Sebanyak 125 juta perempuan dan anak perempuan di 29 negara di Afrika dan Timur Tengah mengalami sunat. Di sektor pendidikan, kekerasan juga terjadi. Sebuah survei di 27 universitas Amerika Serikat pada 2015 menemukan bahwa 23 persen mahasiswi pernah menjadi korban kekerasan seksual.
Kekerasan Terhadap Perempuan Bersifat Spesifik
Maryam, seorang massa aksi bilang kekerasan terhadap perempuan bersifat spesifik karena hanya perempuan yang mengalaminya, atau mengalaminya lebih banyak dari laki-laki.
“Kita mungkin pernah mendengar ungkapan tubuh perempuan adalah areal perang atau pertempuran. Dari sinilah pemahaman tentang penindasan perempuan harus berangkat,” tandasnya.
Mengapa tubuh? Maryam menjelaskan sejak lama tubuh perempuan telah dikonstruksikan untuk sekadar berperan sebagai alat reproduksi, alat pemuas, hingga alat tukar atas dasar relasi pemilikan yang berpusat pada laki-laki.
“Dengan kata lain tubuh perempuan dijadikan sasaran tindakan, kontrol, dan objek pemilikan,” ungkapnya.
Massa aksi saat memegang umbul-umbul protes. Foto: Susi H. Bangsa/LPM Aspirasi. |
Menurut dia, tubuh perempuan didomestifikasi, dipenjara, dan kemampuan kerjanya direduksi hanya sebagai kerja reproduktif, pelayanan, dan pemeliharaan. Dengan kata lain kemampuan tubuh perempuan dibatasi dan dipusatkan hanya di ranah domestik, dan perempuan pelaksana tugas rumah tangga.
“Dari ranah privat ini berlanjut ke publik, dari publik dicerminkan ke privat dan seterusnya walau tak selalu dalam level dan derajat yang sama,” ungkap Maryam.
Semua perempuan mengalami semua atau salah satu dari penindasan seperti didiskriminasi, dimarjinalisasi, dilabelisasi (stereotip), mendapat kekerasan, dikomodifikasi, dibebankan kerja ganda (beban ganda), dijadikan objek seksual, dan menjadi korban terbanyak pemiskinan (feminisasi kemiskinan).
Maryam bilang, akibatnya kekerasan terus terjadi. Sementara penanganan terhadap kasus sangat lambat. Banyak kasus tidak terselesaikan, atau berakhir diselesaikan secara “kekeluargaan”.
“Di kampus misalnya banyak kasus yang terjadi namun penerapan aturan terkait penanganan kekerasan seksual masih belum berjalan dengan baik,” terangnya.
Sementara itu, Maryam juga mengatakan buruh di dunia, terutama buruh perempuan berhak untuk mendapatkan jaminan sosial dan pelindungan sosial atas segala kondisi dan risiko sosial ekonomi politik di dunia kerja terhadap keberlangsungan hidup yang layak.
“Negara harusnya memiliki sistem ideal dan mengembangkan mekanisme layak atas jaminan dan pelindungan sosial atas buruh dan keluarganya, demikian juga pihak pemberi kerja bertanggung jawab atas jaminan sosial terhadap pekerja,” tegasnya.
Mereka tidak boleh membuat pekerja masuk ke dalam sistem ekonomi pasar dan perdangan bebas dengan menempuh segala resiko buruk di dunia kerja tanpa pemenuhan hak asasi atas jaminan sosial dan kerja layak, terutama bagi buruh perempuan dengan kerentanan berlapis.
“Dalam beberapa tahun terakhir, isu keadilan sosial dan pekerjaan layak jadi perhatian. Isu ini jadi sangat krusial sebab perwujudan keadilan sosial dan kerja layak merupakan hak asasi yang hingga kini masih harus diperjuangkan oleh buruh di dunia,” kata Maryam.
Di Indonesia, kata dia kerja layak serta jaminan dan pelindungan sosial bagi pekerja lebih sulit diperoleh oleh perempuan pekerja. Buruh perempuan kerap mengalami kekerasan dan pelanggaran atas hak kerja layak seperti pelanggaran hak maternitas dan hak kesehatan reproduksi seperti persyaratan cuti haid yang dipersulit.
Banyak kasus terjadi, seperti haid dikategorikan sebagai penyakit sehingga harus ada surat dokter hingga terjadi pemeriksaan dengan cara pelecehan seksual. Terus cuti haid diganti uang. Cuti haid memotong cuti tahunan, premi hadir dipotong karena mengambil cuti haid dan dipersoalkan karena tidak memenuhi target.
“Ancaman PHK karena hamil, PHK saat hamil dengan alasan kontrak habis atau melakukan pelanggaran kerja, pekerjaan berat untuk pekerja hamil, hal macam ini dalam berbagai laporan media masih terus terjadi,” jelas Maryam.
Reporter Magang: Brooklyn Gerrard Juanfran Montolalu
Editor: Susi H. Bangsa