Keempat fasilitator bersama moderator saat menyampaikan materi diskusi pada Senin (30/12/2024). Foto: Suritno S Rahman/LPM Aspirasi. |
LPM Aspirasi--Komite Daerah Forum Sekolah Bersama (SEKBER) Maluku Utara mengadakan dialog publik pada Senin (30/12/2024) di Sekretariat Comite Daerah Sekber Malut, Kelurahan Ngade, Ternate Selatan.
Mereka mendiskusikan “Revisi Undang-undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960) untuk Siapa?”. Agenda ini sekaligus konsolidasi untuk merespon rencana pemerintah terkait UUPA 1960 yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan akan direvisi pada tahun 2025 nanti.
Narasumber dari diskusi ini Gunawan Hasan dari Sekber Maluku Utara, Suryono Ibrahim dari Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Ternate, Hendra dari Front Mahasiswa Nasional (FMN), serta Shul Ode dari Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR).
Shul Ode mengatakan UUPA yang merupakan payung hukum masyarakat Indonesia bisa dimenangkan karena ada intervensi gerakan rakyat ke parlemen. Melalui beberapa partai politik menuntut penghapusan hukum agraria peninggalan kolonial.
"Jadi kelahiran UUPA ini bukan lahir begitu saja, dia lahir dari semangat pergerakan, semangat partai politik yang mendorong perubahan hukum agraria di Indonesia,” ungkapnya.
UUPA bisa dimenangkan oleh gerakan rakyat, karena pada saat itu mereka duduk di parlemen, lewat pemilu 1955, yang diwakili oleh beberapa partai politik seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Masyumi kala itu.
Setelah tumbangnya Orde Lama dan berkuasanya Soeharto, kata Shul, UUPA tidak lagi dijalankan. Orde Baru yang dipimpin Soeharto justru membentuk undang-undang untuk mengganti UUPA.
“Misalnya undang-undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA) yang membuka jalan investasi asing masuk,” terang dia.
Tiga bulan setelah disahkan UU PMA, pada April 1967 Freeport Sulphur Incorporated menandatangani sebuah kontrak karya untuk mengeksplorasi dan menambah cadangan emas dan tembaga di Irian Jaya.
Masifnya penanaman modal asing ke Indonesia di masa Orba sempat memicu protes masyarakat dan mahasiswa. Pada 1974 pecah peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) sebagai akumulasi kemarahan rakyat.
Perwakilan FNKSDA, Suryono bilang UUPA 1960 dirancang untuk menjawab kebutuhan mendesak atas keadilan agraria pasca kemerdekaan.
“Para pendiri bangsa menekankan tanah adalah alat produksi yang harus digunakan untuk kemakmuran bersama, bukan menjadi komoditas yang dikuasai segelintir pihak,” tandasnya.
Pemikiran ini selaras dengan prinsip sosialisme dan nasionalisme yang mengakar kuat pada masa itu. Bung Hatta misalnya, secara eksplisit menyatakan penguasaan tanah secara besar-besaran oleh individu atau korporasi bertentangan dengan prinsip keadilan sosial.
Gunawan, perwakilan Sekber Wilayah Malut bilang UUPA 1960 jadi satu payung hukum yang melindungi hak kepemilikan tanah untuk rakyat Indonesia terkhusunya petani penggarap.
“Sayangnya paska Orde Lama tumbang, UUPA tidak lagi digunakan. Sehingga kalau ada yang bilang alasan pemerintah mau revisi karena tidak lagi relevan maka perlu dipertanyakan,” ungkapnya.
Gunawan mempertanyakan bagaimana bisa tidak digunakan lagi paska Soekarno kemudian mau direvisi dengan dalih tidak relevan.
“Jangan sampai bukan tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat melainkan membatasi kapitalis untuk melancarkan modal,” ucapnya.
Bagi Gunawan, usulan revisi UUPA 1960 perlu ditolak. Pasalnya selama ini kebijakan pemerintah selalu saja berpihak kepada kapitalis. Sehingga perlu mencurigai usulan revisi ini bukan sekadar upaya pembaruan regulasi, tetapi langkah strategis untuk mempermudah pengadaan tanah demi mendukung Proyek Strategis Nasional (PSN) dan arus investasi besar-besaran.
“Revisi ini berisiko mengabaikan hak-hak konstitusional rakyat atas tanah, memperburuk ketimpangan penguasaan lahan, dan memperdalam krisis ekologis yang terus mengancam keberlanjutan lingkungan hidup,” tegas Gunawan.
Reporter: Suritno S Rahman
Editor: Susi H. Bangsa