Mahasiswa Gaungkan Tolak Rencana Revisi UUPA 1960, Sarat Kepentingan Kapitalis

Massa aksi saat melakukan orasi di depan pasar Barito pada Selasa (7/01/2024). Foto: Susi H. Bangsa?LPM Aspirasi.


LPM Aspirasi -- Berbagai organisasi mahasiswa dan rakyat menggelar demonstrasi pada Selasa (7/1/2025) di depan Pasar Barito, Kota Ternate. Massa yang mengatasnamakan Persatuan Komite Aksi (PEKA) ini menolak rencana revisi Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang saat ini digulirkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah Indonesia.

Mereka menilai usulan revisi UUPA 1960 bukan sekadar upaya pembaruan regulasi, melainkan kebijakan strategis untuk mempermudah pengadaan tanah demi mendukung Proyek Strategis Nasional (PSN) dan arus investasi besar-besaran.

Abdul  Rahman, koordinator aksi mengatakan rakyat harus belajar dari pengalaman. Berbagai undang-undang yang telah dikeluarkan oleh pemerintah sejauh ini selalu berpihak pada kepentingan kapitalis. Rakyatlah yang terus dikorbankan. Pemerintah selalu mengabaikan hak-hak rakyat.

“Revisi ini diyakini akan melanggar hak-hak konstitusional rakyat atas tanah. Yang ada hanya akan memperburuk ketimpangan penguasaan lahan, dan memperdalam krisis ekologis yang terus mengancam keberlanjutan lingkungan hidup,” ungkapnya.

Dalam sejarahnya, kata Abdul, UUPA 1960 dibuat karena kebutuhan mendesak atas keadilan agraria setelah kemerdekaan. Tujuannya ialah tanah harus menjadi alat produksi untuk kemakmuran bersama, bukan dikuasai segelintir orang.

“Karena penguasaan tanah secara besar-besaran oleh individu atau korporasi bertentangan dengan prinsip keadilan sosial,” tegasnya.

Abdul menguraikan jika di masa pembentukan UUPA, pemerintah berupaya memperjelas hubungan antara negara dan tanah. Termaksud mengadopsi asas mono-dualisme yang telah disepakati oleh para ahli hukum di Indonesia.

Negara sebagai penerima mandat dari rakyat untuk mengelola segala hal yang berkaitan dengan tanah. Hal ini dikenal sebagai Hak Menguasai Negara (HMN), yang bertujuan untuk memastikan pengelolaan tanah sesuai dengan kepentingan bersama melalui representasi rakyat dalam pemerintahan.

“Namun, asas ini juga menjadi akar dari banyak konflik agraria di Indonesia,” tandasnya.

Negara, menurut Abdul sering kali gagal memenuhi mandatnya untuk rakyat dalam memenuhi hak atas tanah, terutama dalam menyediakan pengakuan dan perlindungan hukum terhadap kepemilikan tanah masyarakat. 

Di sisi lain, bagi dia, ketiadaan bukti kepemilikan formal sering digunakan oleh negara sebagai justifikasi untuk mengklaim tanah rakyat atas nama pembangunan atau proyek strategis. 

“Ketimpangan dalam pelaksanaan HMN ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan, tetapi juga memperburuk konflik agraria yang terus terjadi hingga saat ini,” ungkapnya Abdul.

Massa Orba

Safri Rusdi, seorang massa aksi bilang kebijakan terkait tanah bergeser di era Orde Baru. Fokus pemerintah membangun tertib administrasi pertanahan melalui pendekatan legalistik, seperti pembentukan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

“Kebijakan itu, jelas berorientasi pada land management atau manajemen lahan ketimbang menyelesaikan ketimpangan struktur agraria yang akut,” tuturnya.

Pada dekade 1980-an hingga 1990-an, alih fungsi tanah pertanian untuk kepentingan non pertanian semakin marak terjadi, mendorong komersialisasi tanah dan mengabaikan fungsi sosialnya.

“Tanah tidak lagi dipandang sebagai sumber kehidupan bagi rakyat, melainkan semata-mata sebagai aset ekonomi,” ungkap Safri.

Safri menilai rencana revisi UUPA 1960 akan semakin mengukuhkan orientasi kapitalistik dalam kebijakan pertanahan. Nantinya yang diajukan dalam revisi ini akan menitikberatkan pada kemudahan alih fungsi tanah untuk investasi dan pembangunan proyek besar. 

Masyarakat adat, petani kecil, dan komunitas pedesaan yang bergantung pada tanah sebagai sumber penghidupan menjadi pihak yang paling rentan terdampak,” tegasnya 

Atas nama pembangunan, kebijakan-kebijakan ini memberikan peluang bagi Negara untuk mengklaim tanah milik rakyat sebagai tanah milik Negara. Masalahnya negara hari ini tunduk terhadap kapitalisme.

Dampak Terhadap Perempuan

Menurut Qalby, seorang massa aksi, revisi UUPA 1960 dikhawatirkan semakin memarjinalkan masyarakat adat, yang selama ini mengelola tanah dengan kearifan lokal secara turun-temurun. 

Bagi dia, dalam perspektif masyarakat adat, tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan bagian integral dari identitas, spiritualitas, dan keberlanjutan komunitas mereka. 

“Sistem pengelolaan tanah adat mencerminkan prinsip keadilan ekologis dan keberlanjutan yang sangat relevan di tengah krisis iklim saat ini,” ungkapnya 

Sayangnya, hak-hak masyarakat adat atas tanah sering kali terabaikan karena tidak diakui dalam sistem hukum formal. Proses administrasi pertanahan yang diusulkan dalam revisi UUPA berpotensi memperparah kondisi ini.

Selain mengabaikan hak masyarakat adat, menurut Qalby, revisi yang menguntungkan kapitalis jelas akan semakin memicu konflik agraria di Indonesia, dan perempuan akan jadi kelompok paling rentan. Konflik-konflik sumber daya alam memiliki dampak terhadap kaum perempuan.

Dalam konteks budaya dan spiritual misalnya, Qalby bilang, perempuan kehilangan perannya sebagai pengelola pengetahuan lokal berbasis sumber daya alam setempat. Perempuan tidak bisa lagi membuat obat-obatan herbal, ritual dan nilai-nilai pertanian masyarakat adat serta kerajinan tangan.

Selama ini perempuan di area pedesaan atau lingkar tambang telah tersubordinasi. Ditambah negara semakin mengukuhkan dominasi mereka atas tanah demi kepentingan kapitalis, maka perempuan semakin menderita. 

Dampak ekonomi bagi perempuan jelas semakin dimiskinkan karena mereka tidak dapat membuat kerajinan tangan atau komoditas lainnya dari sumber daya alam setempat yang memiliki nilai jual. Kemudian dampak hak-hak dasar berupa kehilangan air bersih, lingkungan hidup yang sehat, dan hilangnya ketahanan pangan karena kerusakan lingkungan hidup.

“Hal ini diperparah dengan sulitnya perempuan mengakses pekerjaan, misalnya di area industri ektraktif, penerimaan buruh perempuan sangat terbatas,” jelasnya.

Lebih jauh dari itu, Qalby bilang ancaman kekerasan karena rentan KDRT, perdagangan orang, kekerasan seksual terhadap anak, prostitusi, eksploitasi terhadap perempuan dan anak di area tambang, hal-hal macam ini rentan jika tanah dikuasai negara demi kepentingan kapitalis. 

“Masyarakat perlu belajar dari situasi ini, belajar dari pengalaman, selama ini kebijakan pemerintah selalu berpihak pada segelintir orang yang punya modal, dan rakyat terus jadi korban,” ungkap Qalby.

Qalby menjelaskan, untuk mewujudkan sebuah produk hukum agraria yang adil dan setara, maka perempuan, laki-laki, buruh, petani, nelayan dan berbagai elemen masyarakat yang tertindas harus memulai bersatu.  Mulai mencicil pembangunan sebuah partai sebagai jembatan intervensi kekuasaan dari level terendah (desa) hingga nasional.


Reporter: Nurdafni K. Hamisi

Editor: Susi H. Bangsa

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama