![]() |
Suasana saat jalannya diskusi pada Senin (28/04/2025) di Bukit Bintang, Kelurahan Jan, Kota Ternate. Foto: Sukriyanto Safar/LPM Aspirasi. |
LPM Aspirasi -- Samsara Kota Ternate mengelar diskusi dan peluncuran buku “Keadilan Reproduksi - Realitas Kasus dan Narasi Perjuangan“. Agenda ini dilaksanakan pada, Senin (28/04/2025) di Bukit Bintang, Kelurahan Jan, Kota Ternate.
Diskusi ini dimaksudkan untuk memberikan konteks dan wawasan tentang buku, memungkinkan peserta untuk memahami ide-ide utama, dan mendorong interaksi antara penulis dan pembaca dalam memahami masalah psikologis dari korban kekerasan seksual, KDRT dan lainnya.
Kegiatan itu menghadirkan empat pembicara. Zharueny dari Samsara, lalu Irawati Harun dari Front Anti Kekerasan (Fak), kemudian Harisa Torano dan Hasrila Tari sebagai penulis buku Keadilan Reproduksi- Realitas Kasus dan Narasi Perjuangan.
Zharueny, dari Samsara, LSM yang berfokus pada pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi bagi individu di Indonesia menjelaskan, keadilan dan kesehatan reproduksi sangat penting bagi semua orang terutama pada korban kekerasan seksual. Korban berhak atas layanan kesehatan yang komprehensif, termasuk pemulihan kesehatan pasca perkosaan.
“Akses ke layanan aborsi yang aman dan legal, sesuai dengan ketentuan hukum, juga merupakan bagian penting dari keadilan reproduksi bagi korban kekerasan seksual yang tidak ingin melanjutkan kehamilannya,” ungkap dia.
Akses terhadap layanan keadilan dan kesehatan reproduksi yang komprehensif merupakan hak asasi manusia yang fundamental. Ketika akses atas layanan esensial ini tidak terpenuhi maka seluruh spektrum hak yang dimilikinya akan terdampak.
Salah satu layanan yang hingga hari ini tidak pernah tersedia adalah pemulihan kesehatan seksual dan reproduksi bagi korban kekerasan seksual dengan memilih melakukan aborsi yang aman akibat perkosaan.
Meskipun telah diatur sejak lama dalam berbagai aturan seperti PP 61/2014, Permenkes 3/2016, sampai pada revisi melalui undang-undang no 17 tahun 2023 tentang kesehatan dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, korban tidak pernah mendapatkan haknya atas layanan tersebut, sehingga korban lebih memilih dengan metode aborsi yang tidak aman atau dengan terpaksa melanjutkan kehamilannya.
Kasus kekerasan seksual mengalami peningkatan setiap tahun. Hal ini perlu disikapi dengan penyediaan layanan yang terkoordinasi, dan terintegrasi. Mengingat sebagian besar korban kekerasan seksual tidak memiliki akses ke dukungan psikososial, hukum, dan kesehatan yang mereka butuhkan untuk pemulihan.
Dalam hal ini, korban berusia anak menghadapi kerentanan yang berlipat disebabkan oleh tidak mumpuninya layanan pemulihan pasca-perkosaan, termasuk ke layanan aborsi yang aman dan legal. Tak jarang, korban kekerasan seksual yang terpaksa melanjutkan kehamilannya tidak dapat mengakses keseluruhan hak kesehatan seksual reproduksinya.
“Misalnya, akibat dari tidak adanya layanan aborsi aman, kurangnya fasilitas serta akses informasi bagi korban kekerasan seksual yang hamil, jika melakukan aborsi tidak aman dan pendarahan hebat, ikut menyumbang angka kematian pada ibu dan anak perempuan yang semakin tinggi”, jelasnya.
Dia bilang angka kehamilan tidak direncanakan menurut badan kesehatan dunia (WHO) itu tinggi terjadi setiap tahun, 4 dari 10 kehamilan adalah kehamilan tidak direncanakan, dan 2 juta aborsi terjadi setiap tahun pada usia produktif 15-49 tahun.
![]() |
Foto bersama pada peluncuran buku: Keadilan dan Kesehatan Reproduksi Bagi Korban Kekerasan Seksual. Foto: Sukriyanto Safar/LPM Aspirasi. |
“Di beberapa tahun belakangan terjadi kasus pernikahan anak meningkat di bawah usia 18 tahun. Kasus semacam ini tidak terlepas dari situasi KTD yang dialami oleh anak perempuan, ini adalah masalah yang membutuhkan perhatian serius dari pemerintah, bukan dengan cara diselesaikan dengan pernikahan oleh keluarga lalu masalah selesai, padahal justru dengan cara tersebut, ikut menyumbang angka pernikahan anak, angka putus sekolah, dan angka kemiskinan pada perempuan karena terbatasnya akses ke pekerjaan dan beban keluarga, semakin meningkat, yang berdampak pada kesejahteraan dan derajat kesehatan perempuan semakin menurun,” jelasnya.
Menurut dia, undang-undang tentang kesehatan yang ditetapkan juga harus objektif dengan realitas kasus yang terjadi di lapangan. Harus menggunakan perspektif dan pengalaman perempuan yang tertinggal, terluar dan terdampak juga, sehingga tidak merampas hak-hak mendasarnya, seperti pendidikan dan akses ke layanan kesehatan seksual reproduksi yang komprehensif. Kalau tidak, maka selamanya, hak perempuan selalu dihilangkan dan mudah dikriminalisasi.
Misalnya, lanjut dia, sering kali dalam kasus-kasus kekerasan seksual yang didampingi, korban sering mendapatkan stigma dan diskriminasi ketika berupaya mendapatkan keadilan dan pemulihan, bahkan dianggap keterangan korban seakan-akan tidak valid dan harus dibuktikan secara berulang pada pihak penyidik, padahal tindakan seperti itu jelas sangat mengancam kesehatan mental para korban dalam upaya pemulihannya, bagi Zharueny, tindakan seperti ini sangat miris.
Selain itu, UU Kesehatan harus memberikan kejelasan hukum dan perlindungan yang tegas bagi individu yang menghadapi perkosaan dan kedaruratan medis dalam mengakses layanan aborsi aman, jangan dipersulit dengan prosedur administrasi yang berbelit-belit karena bisa beresiko pada kematian jika dalam keadaan darurat.
"Apalagi di wilayah kami banyak perempuan yang berada di wilayah kepulauan dan pesisir yang jauh dari pusat kota dan sangat sulit mengakses layanan kesehatan yang memadai," ujarnya.
Harisa Torano, dalam tulisannya di buku ini berfokus pada kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang terjadi pada seorang perempuan. Kasus bermula ketika terjadi perjodohan seorang perempuan yang saat itu masih berusia 16 tahun karena alasan ekonomi.
Setelah menikah, kekerasan sering terjadi. Hal-hal macam suami marah mendengar tangisan bayi mereka serta alasan lainnya menjadi pemicu. Perempuan yang alami kekerasan merasa tidak ada keselarasan dalam rumah tangga.
“Hal ini membuat si perempuan semakin stress berkepanjangan. bisa menyebabkan baby blues. Kekerasan itu masih terus berlanjut hingga anak ke lima lahir. Bahkan sampai lebih parah istrinya dicambuk," jelas Harisa.
Menurut dia, alasan kenapa perempuan sering ragu untuk berpisah adalah karena keadaan ekonomi, seringnya laki-laki merupakan pemenuhan utama kebutuhan rumah tangga.
"Hal ini sering terjadi di dalam rumah tangga pada umumnya, banyak yang menganggap ini hal biasa. Padahal ini merupakan masalah yang struktural," jelasnya.
Hasrila Tari, menjelaskan tentang tulisannya dalam buku yang membahas kekerasan seksual yang di alami seorang perempuan berumur 18 tahun dan diperkosa oleh pasangannya.
Dia bilang, kisah seorang perempuan ini berhubungan erat dengan kasus KBGO yang masif terjadi pada akhir-akhir Covid-19, ini berhubungan erat dengan terjadi pembatasan sosial.
“Karena kedua pasangan ini awal kenalnya pada tahun-tahun aktivitas semua di arahkan pada online, inilah yang membuat si perempuan mengalami kekerasan seksual," ungkapnya.
kadang yang membuat orang enggan melapor kasus kekerasan seksual ke pihak berwajib, menurut Hasrila, disebabkan penanganan kasus yang melibatkan pasangan tidak mau dipidana, mereka menganggap kejadian itu merupakan persetujuan dari kedua belah pihak.
“Hal ini hanya dengan alasan karena suka sama suka dan jawaban ini saya dapat ketika saya wawancara pihak kepolisian saat saya riset skripsi pada tahun 2023 lalu," ungkapnya menyayangkan pernyataan itu.
Sejalan dengan itu, Irawati Harun, menjelaskan dalam kasus penyelesaian kekerasan seksual harusnya memakai perspektif korban agar tidak merugikan korban.
“Walaupun kadang perspektif yang lain itu berbeda-beda tetapi kan agar psikologi korban tidak terganggu," tandasnya.
Irawati bilang, penyelesain kasus kekerasan di dalam jalur hukum yang berbelit justru membuat korban kekerasan seksual kesulitan untuk mengaksesnya apa lagi kasus aborsi.
“Mekanisme undang-undang kan hanya mengatur korban kekerasan seksual bisa di aborsi ketika usia kandungan 14 minggu, dengan berbelit-belit membuat waktu aborsi kelewatan yang akan menganggu pada rahim dan kesehatan reproduksi korban," ungkap Irawati.
Dia bilang, Komnas perempuan dalam mencatatkan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak hanya pada lembaga-lembaga yang bermitra dengan mereka.
“Padahal ada kasus yang tidak terungkap dan ada lembaga-lembaga lain yang memiliki catatan kasus kekerasan perempuan dan anak," tutupnya.
Diskusi ini berakhir dengan rencana tindak lanjut launching buku series ke 2. Di seri ini para penulis mengumpulkan cerita fakta dari hasil edukasi dan advokasi di isu pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi di Indonesia untuk menyambut hari Marsinah pada tanggal 8 mei mendatang.
Reporter: Sukriyanto Safar
Editor: Susi H. Bangsa